Kamis, 24 Desember 2015

hukum ekonomi syariah

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

a.       Pengertian Ekonomi Islam

Sebelum mengetahui tentang definisi ekonomi islam, pemahaman tentang makna literalis kata ekonomi (al-iqtishad) penting untuk diketahui. Dalam literatur arab disebutkan al-qisad (ekonomi) berarti kelurusan cara, dan al-iqtishad (ekonomis) juga bermakna adil/keseimbangan.

Adapun arti islam, literatur arab menyebutkan syariat islam berarti ketundukan untuk merealisasikan aturan serta kewajiban yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. Ungkapan ‘seorang adalah muslim’ berarti seorang yang berserah diri terhadap perintah Allah dan ikhlas karenanya dalam beribadah. Adapun secara istilah, para pakar ekonomi islam mendefinisikannya secara beragam, antara lain:

a.       Dr. Muhammad Bin Abdullah Al-Arabi mendefinisikan bahwa ekonomi islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-quran, sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu

b.      Dr. Muhammad Syaugi Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktifitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok islam dan politik ekonominya.

c.       Dengan posisinya merupakan cabang dari ilmu fikih, maka saya mendefinisikan bahwa ekonomi islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harta.

Ekonomi islam bukan merupakan bagian ilmu tentang keyakinan, namun umumnya merupakan asumsi-asumsi, karena posisinya yang menjadi bagian dari hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis ahad, standar perkiraan atau sejenisnya.[1]

Pendefinisian tentang apakah ekonomi islam itu akan berbeda dengan ekonom yang satu dengan ekonom lainnya. Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy, menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset dari agama. Menurut khaf pula ekonomi islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang memiliki sifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi islam tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu pemdukungnya yang lintas keilmuan termasuk didalamnya terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqhi.

Definisi ekonomi islam juga dikemukakan oleh Umar Chapra[2] dimana ilmu ekonomi islam diartikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia memalui suatu alokasi dan sdistribusi sumber daya alam yang langkah yang sesuai dengan maqashid tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makro ekonomi dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas, keluarga, sosial dan jaringan masyarakat.

Masih banyak lagi para ahli yang memberikan definisi tentang apa itu ekonomi islam. Secara umum ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntutan syariat islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).[3]

Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi islam adalah:

1.      Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain. Dalam ekonomi islam, negara memiliki peran yang kecil namu sangant penting dalam menjamin stabilitas perekonomian umat.

2.      Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya bagi orang lain.

3.      Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan anatara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.

4.      Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerjasama sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi islam.

b.      Pengertian Hukum Ekonomi Syariah

Kata hukum yang dikenal dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa arab hukm yang berarti putusan (judgment) atau ketetapan (provision). Dalam ensiklopedi hukum islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.

Sebagaimana telah disebut diatas, bahwa kajian ilmu ekonomi islam terikat dengan nilai-nilai ekonomi islam atau dalam istilah sehari-hari terikat dengan ketentuan halal haram, sementara persoalan halal haram merupakan salah satu lingkup kajian hukum, maka hal tersebut menunjukkan keterkaitan yang erat antara hukum, ekonomi dan syariah. Pemakaian kata syariah sebagai fikih tampak secara khusus pada pencantuman syariah islam sebagai sumber legislasi dibeberapa negara muslim, perbankan syariah, asuransi syariah, ekonomi syariah.

Dari sudut pandang ajaran islam, istilah syariah sama dengan syariat yang pengertiannya berkembang mengarah pada makna fikih, dan bukan sekedar ayat-ayat atau hadis-hadis hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah dalil-dalil pokok mengenai ekonomi yang ada dalam al-quran dan hadis. Hal ini memberikan tuntutan kepada masyarakat islam di Indonesia untuk membuat dan menerapkan sistem ekonomi dan hukum ekonomi berdasarkan dalil-dalil pokok yang ada dalam al-quran dan hadis. Dengan demikian, dua istilah tersebut apabila disebut dengan istilah singkat ialah sebagai sistem ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah.

Sistem ekonomi syariah pada suatu sisi dan hukum ekonomi syariah pada sisi lain menjadi permasalahan yang harus dibangun berdasarkan amanah UU di Indonesia. Untuk membangun sistem ekonomi syariah diperlukan kemauan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan fikikh dibidang ekonomi, sedangkan untuk membangun hukum ekonomi syariah diperlukan kemauan politik untuk mengadopsi hukum fikih dengan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat indonesia. Adopsi yang demikian harus merupakan ijtihad para fuqaha ulama dan pemerintah, sehingga hukum bisa bersifat memaksa sebagai hukum.

Dalam konteks masyarakat, hukum ekonomi syariah berarti hukum ekonomi islam yang di galih dari sistem ekonomi islam yang ada dalam masyarakat, yang merupakan pelaksanaan fikih dibidang ekonomi oleh masyarakat. Pelaksanaan sistem ekonomi oleh masyarakat membutuhkan hukum untuk mengatur guna menciptakan tertib hukum dan menyelesaikan masalah sengketa yang pasti timbul pada interaksi ekonomi. Dengan kata lain sistem ekonomi syariah memerlukan dukungan ekonomi syariah untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul dalam masyarakat.

Produk hukum ekonomi syariah secara kongkret di Indonesia khususnya dapat dilihat dari pengakuan atas fatwa dewan syariah nasional, sebagai hukum materiil ekonomi syariah, untuk kemudia sebagian dituangkan dalam PBI atau SEBI. Demikian juga dalam bentuk undang-undang, seperti contohnya undang-undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, dan lain sebagainya, diharapkan dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syaraiah.

Untuk bidang asuransi, reksadana, obligasi dan pasar modal syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya tentu juga memerlukan peraturan perundangan tersendiri untuk pengembangannya, selain peraturan perundangan lain yang sudah ada sebelumnya. Bahan baku UU tersebut antara lain ialah kajian fikih dari para fuqaha.

Kehadiran hukum ekonomi syariah dalam tata hukum indonesia dewasa ini sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak, akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang di cita-citakakan oleh bangsa dan negara kesatuan republik indonesia. Hal ini seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kritis tentang mekanisme investasi dengn sistem bagi laba dan rugi itu diterapkan dan berdampak lebih baik.

Kegiatan para pelaku ekonomi sebagai subjek hukum selalu menunjukkan kecenderungan semakin mapan dengan frekuensi semakin cepat dan jenis hubungan hukum yang semakin beragam. Pada dasarnya hukum ekonomi selalu berkembang berdasarkan adanya:

1.      Peluang bisnis/usaha baru

2.      Komoditi baru yang ditawarkan oleh iptek/teknologi

3.      Permintaan komoditi baru

4.      Kecenderungan perubahan pasar

5.      Kebutuhan-kebutuhan baru di dalam pasar

6.      Perubahan politik ekonomi

7.      Berbagai faktor pendorong lain misalnya, pergeseran politik dan pangsa pasar.

Guna memenuhi dan mengantisipasi kemungkinan peluang yang ada, maka hukum seharusnya mampu memberikan solusi yang sesuai dengan perkembangan dunia bisnis. Dalam kontek ini kajian hukum yang diperlukan ialah kajian hukum ekonomi dan kajian hukum bisnis yang dipadukan dengan prinsip-prinsip islam. Dengan demikian, diharapkan hukum ekonomi/hukum bisnis pada hakikatnya juga selalu dapat dan mampu berkembang sesuai kebutuhan jaman.[4]

c.       Karakteristik Ekonomi Islam

Ada beberapa hal yang mendorong perlunya mempelajari karakteristik ekonomi islam (Yafie, 2003,27) :

1.      Meluruskan kekeliruan pandangan yang menilai ekonomi kapitalis (memberikan penghargaan terhadap prinsip hak milik) dan sosialis (memberikan penghargaan terhadap persamaan dan keadilan) tidak bertentangan dengan metode ekonomi islam.

2.      Membantu para ekonom muslim yang telah berkecimpung dalam teori ekonomi konvensional dalam memahami ekonomi islam.

3.      Membantu para peminat studi fikih muamalah dalam melakukan studi perbandingan antara ekonomi islam dengan ekonomi konvensional.

Sedangkan sumber karakteristik ekonomi islam adalah islam itu sendiri yang meliputi 3 asas pokok. Ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi dalam islam, yaitu asas akidah, ahlak dan asas hukum (muamalah).[5]

B.     Ruang lingkup Ekonomi Syariah

Beberapa ekonomi memberikan penegasan bahwa ruanglingkup dari ekonomi islam adalah masyarakat muslim atau negara muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara muslim dimana nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan. Namun, pendapat lain tidak memberikan pembatasan seperti ini melainkan lebih kepada penekanan terhadap prespektif islam tentang masalah ekonomi pada umumnya. Dengan kata lain, titik tekanan ekonomi islam adalah pada bagaimana islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat secara umum. [6]

Ruang lingkup ekonomi syariah meliputi: ba’i, akad-jual beli, syirkah, mudharabah, murabahah, muzara’ah dan musaqah, khiyat,istisna, ijarah, kafalah, hawalah, rahn, wadi’ah, ghashab dan itlaf, wakalah, shulhu, pelepasan hak, ta’min, obligasi syariah mudharabah, pasar modal, reksadana, sertifikasi bank indonesia syariah, pembiayaan multi jasa qard, pembiayaan rekening koran syariah, dana pensiun syariah, zakat dan hibah, dan akuntansi syariah. Untuk mempermudah pemahaman kita akan ulas secara singkat tentang istilah-istilah diatas.

·         Ba’i dalam istilah fiqih adalah al bai’ yang berarti menjual, membeli, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian kata al bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga beli (Haroen, 2000), sedangkan dalam pengertian perekonomian, bai’ adalah transaksi pertukaran antara ‘ayn yang berbentuk barang dengan dayn yang berbentuk uang(Zulkifli, 2003).[7]

·         Akad berasal dari bahasa arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian atau permufakatan al-ittiqaf. Secara etimologi fikih akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan (Haroen, 2000). Jadi akad adalah suatu perikatan, perjanjian yang ditandai dengan adanya pernyataan melakukan ikatan (ijab) dan pernyataan menerima ikatan (qabul) sesuai dengan syariah islamiyah yang mempengaruhi objek yang diperikatkan oleh pelaku perikatan.[8]

·         Syirkah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

·         Mudharabah adalah merupakan akad kerjasama antara dua pihak, dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak.

·         Muzara’ah adalah merupakan kerjasama pengolahan dana pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap uuntuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plation atas dasar bagi hasil panen.[9]

·         Musaqah adalah bagian dari muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari presentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam kontek adalah kerjasama pengolahan pertanian  antara pemilik lahan dengan penggarap.

·         Kafalah adalah jaminan yang diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat diartikan pula pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.

·         Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada pihak yang lain. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.

·         Rahn/gadai adalah kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan uang atau gadai.[10]

·         Wadi’ah merupakan titipan atau simpanan pada bank syariah. Pronsip wadi’ah ini merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki.[11]

·         Murabaha adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.[12]

·         Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukan.

·         Ijarah adalah pemilik jasa dari seorang ajir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajir. Dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi. Contoh: mengontrak ahli batik dan desain untuk melakukan kerja tertentu atau seperti mengontrak tukang celup, pandai besi, dan tukang kayu. Apabila di dalam transaksi tersebut menyebut jasa seseorang, maka yang disepakati adalah jasa pada orang yang bersangkutan. Contohnya adalah pelayanan buruh.[13]

·         Istishna’ mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan salam. Istishna adalah akad jual beli antara pembeli (al-mutashni) dan as shani (produsen yang juga sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut petugas menugasi produsen untuk menyediakan barang pesanan (al-mashnu) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan penjualnya dengan harga yang disepakati.[14]

·         Ghashab adalah pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa niat untuk memilkinya.

·         Itlaf/perusakan adalah penggurangan sutu kualitas nilai suatu barang

·         Ju’alah adalah jasa pelayanan pesanan/permintaan tertentu dari nasabah, misalnya untuk memesan tiket pesawat atau barang dengan menggunakan kartu debit atau kredit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini bank memperoleh fee.[15]

·         Wakalah menurut Antonio (2001) adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Orang yang diberikan amanat oleh orang lain maka orang yang diberi amanat akan melakukan apa yang diamanatkan kepada dirinya atas nama orang yang memberikan amanat (kuasa) tersebut.[16]

·         Obligasi syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyetaraan terhadap aset urat berharga, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

·         Reksadana syariah adalah lembaga jasa keuangan non bank yang kegiatannya berorientasi pada investasi disektor portofolio atau nilai kolektif dari surat berharga.

·         Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

·         Ta’min atau asuransi menurut ahli fikih kontemporer Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awun dan at-ta’min bi qist sabit. At-ta’min at-ta’awuni atau asuransi tolong menolong adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan.[17]

Musthafa Ahmad az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.[18]

·         Syuuq Maaliyah/Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

·         Waraqah Tijariah/surat berharga syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar modal, antara wesel, obligasi syariah, sertifikasi reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah.

·         Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih), dengan penangguhan kiriman oleh penjual (muslam ilaihi), dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu.[19]

·         Qard menurut Antonio (2001) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.[20]

·         Ba’i al-wafa/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu telah tiba.

C.     Ekonomi Islam Sebagai Suatu Ilmu dan Norma

Pemahan tentang terminologi ekonomi positif (positive economics) dan ekonomi normatif (normative economics) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari ekonomi islam. Ekonomi ‘positif’ membahas mengenai realitas hubungan ekonomi atau membahas sesuatu yang senyatanya terjadi, sementara ekonomi ‘normatif’ membahas mengenai apa yang seharusnya terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. Keharus ini didasarkan atas nilai (value) atau norma (norm) tertentu, baik secara eksplisit maupun secara emplisit.

Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif dan aspek normatif. Pemisahan aspek normatif dan positif mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi merupakan sesuatu yang independen. Terhadap norma, tidak ada kausalitas antara norma dengan fakta. Dengan kata lain, relitas ekonomi merupkan sesutatu yang bersifat independen, dan karenanya bersifat objektif  dan akhirnya berlaku universal.

Menurut Daniel Bell perkembangan ilmu ekonomi tidak terpisahkan dengan kebijaksanaan, karenanya dinamakan political economics.sejak tahun 1890 nama itu di ganti menjadi economics (tanpa political) oleh alfred Marshal, dan kemudian di ganti lagi menjadi positive economics. Penggunaan istilah positive economics ini adalah untuk mempertegas perbedaannya dengan normative economics.

Oleh karena itu, ekonomi islam pada dasarnya mengedepankan integratif  antara normatif dan positif. Islam menempatkan nilai yang tercermin dalam etika pada posisi yang tinggi. Jadi, etika harus menjadi kerangka awal dalam ilmu ekonomi. Penjelasan, pemahaman dan penilaian atas perilaku dan masalah-masalah ekonomi hingga upaya pencapaian tujuan ekonomi harus di lakukan dengan kerangka ilmu sosial yang integral. Integrasi etika dan realita dalam pandangan islam tentu saja bukan seperti pemahaman maxweber tentang wertfrei, sebab dalam pandangan islam etikalah yang harus menguasai ilmu ekonomi bukan sebaliknya. Dalam pandangan islam hidup seorang manusia harus oleh syariat islam secara keseluruhan, dan inilah misi utama eksistensi manusia di muka bumi. Syariah islam telah menyediakan perangkat yang lengkap sebagai sistem kehidupan (manhaj al-hayalah) dan sarana kehidupan.  Sebagai konsekuensi bahwa ekonomi islam di tujukan untuk mendapatkan falah, maka ekonomi islam tidak hanya dapat di pandang sebagai deskripsi empiris atas perilaku umat islam, menunjukan suatu perekonomian yang mampu membawa manusia untuk mencapai falah tersebut.[21]

D.    Urgensi Sistem Hukum Ekonomi Alternatif di Indonesia

Ekonomi islam bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan prilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran islam. Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis, dan mengajukan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi.

Ekonomi islam merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kaffah dalam aspek ekonomi.oleh karena itu, perekonomian islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran islam yang diharapkan, yang belum tentu tercermin pada perilaku masyarakat muslim yang ada pada saat ini.

Ekonomi islam mempelajari perilaku individu yang dituntun oleh ajaran islam, mulai dari penentuan tujuan hidup, cara memandang dan menganalisis masalah ekonomi, serta prinsip-prinsip dan nilai yang harus dipegang untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam pandangan ini, tujuan ekonomi dan nilai-nilai dianggap sebagai hal yang sudah tetap (given) atau diluar bidang ilmu ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi islam berbeda dengan ekonomi konvensional tidak hanya dalam aspek cara penyelesaian masalah, namun juga dalam aspek cara memandang dan analisis trerhadap masalah ekonomi. Ekonomi islam melingkupi pembahasan atas perilaku ekonomi manusia yang sadar dan berusaha untuk mencapai maslahah dan fallah, yang disebut sebagai homo Islamicus atau Islamic Man.[22]

Sistem ekonomi juga mengajarkan untuk selalu berprinsip “jangan menjalimi dan jangan di jalimi”. Yang mana hal ini sangat relevan dengan teori ekonomi yang sering kita dengar saat ini yaitu pareto efisiensi, yang mana mengandung pengartian bahwa “we can better without make the other worse off” kita menjadi lebih baik dan untung tanpa harus merugikan pihak lain. Sistem ekonomi islam juga melarang unruk bersikp curang dalam perekonomian seperti melarang untuk berlaku dan melaksanakan ekonomi yang mengandung unsur tadlis, ikhtiar, maysir dan gharar. Terutama yang sangat familiar sistem ekonomi islam itu melarang untuk melakukan riba, karena riba itu sangat berbahaya. Riba adalah salah satu hal yang menyebabkan terjadi kesenjangan dalam kehidupan, di mana yang kaya semakin kaya dan yang lemah akan semakin lemah, yang akan memperbesar gap distribusi pendapatan. Serta islam juga mengajarkan untuk membayar zakat dan infak sebagai wujud rasa sosial kita kepada sesama manusia.

Hal inilah yang membuat sistem ekonomi islam itu jauh lebih istimewa dari sistem ekonomi lainnya. Sistem ekonomi yang akan membawa kepada kesejahteraan dan kemakmuaran.

Sebagai titik acuan sistem ekonomi islam dapat kita ambil contoh dunia perbankan. Dunia perbankan boleh di bilang merupakan pembuka jalan perkembangan ekonomi islam, namun bukanlah satu-satunya bagian yang di bahas dalam ekonomi islam. Kenyataan menunjukan bagus tidaknya perkembangan ekonomi islam di suatu negara juga bisa di lihat daru perkembangan perbankan islam di negara tersebut. Dalam dunia perbankan sendiri bisa kita ketahui bahwa perbankan islam atau yang juga di kenal dengan perbankan syariah mengalami perkembangan yang cukup bagus, tidak hanya di indonesia, tetapi juga di negara lain yang note bene sebagian besar penduduknya tidak muslim. Kenyataan ini mungkin bisa menjadi langkah awal dalam perkembangan perekonomian islam kedepannya dan menjadikan sistem ekonomi islam sebagai alternatif sistem ekonomi yang akan di anut karena kebobrokan dari sistem perjalanan waktu menunjukan, bahwa ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk mengatasi masalah umat yang saat ini masih mengalami krisis ekonomi adalah menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi syariah untuk lebih meningkat pemahaman umat soal prinsip ekonomi syariah, karena mereka akan menjadi pasar potensial bagi penerapan ekonomi syariah yang bukan tidak mungkin akan menjadi batu loncatan bagi penerapan hukum syariah di semua aspek kehidupan yang menjadi impian banyak umat islam di negeri ini.

Di indonesia, praktek ekonomi islam, khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992. Di awali dengan berdirinya bank muamalat indonesia (BMI) dan bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Namun, pada decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syriah boleh di bilang agak lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistem opersional bank syariah kecuali UU No.7 tahun 1992 dan PP No. 72 tahun 1992.

Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 itu bank syariah di pahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah hatus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Karena manajemen bank-bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk konvensional yang “disyariatkan”. Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua keperluan masyarakat terakomodaso dn produk yang ada tidak kompetitif  terhadap produk bank konvensiaonal.

Kalau kita perhatikan secara lebih dalam, indonesia merupakan pelaksanaan ekonomi kapitalisme “terbaik” di dunia. Ketidakmerataan di berbagai lini atau sektor anatara berbagai wilayah merupakan salah satu bukti indikasi hal tersebut. Mengingat kondisi ekonomi di indonesia yang semakin parah. Serta mengalami krisis yang tidak berkesesudahan, di perlukanlah suatu sistem alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Sistem ekonomi islam bisa menjadi alternatif  dari sekian banyak pilihan yang tersedia, dengan catatn juga di barengi dengan pemahaman yang mendalam kepada masyarakat sebagai pelaksana utama aktifitas ekonomi tentang sistem ekonomi islam itu sendiri.






[1] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasardan Tujuan, Magistra Insania Press cet pertama, September 2004, Hal 14


[2] M. Umar Chapra, The Future of Economies: an Islamic Prespektive, Jakarta: SEBI, 2001


[3] M. Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si, Teori Ekonomi Islam, ALFABETA cet ke I, September 2010, Hal 6


[4] HA Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, FIK-IMA, 1997, Hal 571


[5] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, PRENADA MEDIA GRUP, Jakarta: Kencana 2007, Cet ke II, hal 17


[6] Ditulis oleh Pusat Pengkjian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Hal 17


[7] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 33


[8] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 23


[9] Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1998), hal 170


[10] Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1998), hal 174


[11] Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1998), hal 166


[12] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 129


[13] Drs. Moh. Maghfur Wahid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prespektif Islam,  RISALAH GUSTI, Cet ke VIII, Maret 2009, Hal 83


[14] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 161


[15] Wirdayaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), Hal 137


[16] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 27


[17] Abdul Azis Dahlan, et al.,ed, Ensiklopedi Hukum Islam, cet 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), Hal 138


[18] Wirdayaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), Hal 177


[19] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 147


[20] Slamet Wiyono, Taufan Mauloamin, Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Hal 24


[21] Ditulis oleh Pusat Pengkjian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Hal 23-26




[22] Ditulis oleh Pusat Pengkjian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Hal 19